Puisi dan Pendidikan

18 07 2007

 

 

HIDUP baginya adalah puisi itu sendiri. Setiap orang dapat secara bebas menterjemahkan puisi menurut pemahaman masing-masing. Pun dirinya memandang sebuah dunia hanya dengan kata-kata. Hari yang berganti adalah bait-bait yang musti dilalui. Diisi dan dipahami. Walau terkadang justru menjadi sebuah misteri.

Ia menyeruput kopi yang baru saja dihidangkan. Sebatang rokok digapitkan di antara kedua bibirnya dan disulutnya. Kususul dengan menyalakan sebatang rokok setelah menyeruput cangkir berisi kopi.

“Ya, begitulah aku memandang hidup ini. Sebuah puisi.”

Lelaki itu selalu datang ke rumah tak lebih dari dua kali dalam seminggu. Walau orang-orang di desa ini, mengatakan bahwa lelaki itu tidak seratus persen – agak tidak waras. Tapi, aku selalu membujuknya untuk menyambutn seperti tamu-tamu yang lain.

Bagiku lelaki ini adalah sesosok yang istimewa. Betapa tidak, dalam sehari ia dapat menghasilkan lebih dari dua puluh puisi. Sebagai seorang Dosen ……. Perguruan Tinggi Swasta, aku cukuplah paham dengan apa yang dituliskannya. Ah, bagaimanapun juga ketika aku baru datang di desa ini, lelaki itulah yang menjadi teman pengisi waktu luang. Juga perkenalanku, juga tak luput dari bantuannya.

Pernah suatu kali aku menawari dirinya untuk mengirimkan puisi-puisinya ke koran. Kukatakan padanya bahwa puisi yang termuat di koran mendapatkan honor yang lumayan. Tapi, lelaki itu mengelengkan kepala. Ia hanya menulis puisi untuk dirinya sendiri.

Alasannya masih tetap membuatku untuk terus mengejarnya. Kulakukan ini karena orang-orang kampung memintaku untuk menasehati lelaki itu agar mau bekerja, karena ia adalah satu-satunya anak dari seorang perempuan yang hampir berkalang tanah. Lagi-lagi ia hanya tertunduk dengan muka sedih, ketika kunasehati.

Hingga teguk kopi terakhir, lelaki itu masih tertunduk dengan muka sedih. Ia tak lagi membicarakan bahwa hidup adalah sebuah puisi. Kini aku benar-benar menjadi seorang dosen yang tengah memarahi siswanya yang mendapat beasiswa tak mengerjakan tugas di kelas, karena Kampus Beasiswa-Wirausaha ini diutamakan kedisiplinan bagi anak-anak yang mendapatkan beasiswa.

“Kau harus bekerja. Lihatlah ibumu, dia sudah tua dan sakit pula. Siapa lagi kalau bukan dirimu yang merawatnya. Aku yakin kamu dapat hidup dengan puisi-puisimu. Begini sajalah, aku akan membantumu mengirim ke koran. Biaya pengiriman biarlah aku yang menanggungnya. Gimana?”

Kulihat segores harapan di mukanya. Ia masih akan mempertimbangkan bahwa dirinya akan melakukan apa yang telah kusarankan. Hatiku lega melihat masa depannya. Seperti biasa, ia akan menyerahkan sebuah buku kepadaku sebelum pergi.

“Aku akan mencatat hari dengan puisi.” Katanya seraya pergi.

***

Pernah juga aku merasa iri kepada lelaki puisi – akulah satu-satunya orang yang menyebut dirinya sebagai lelaki puisi, karena ia dapat seproduktif itu membuat puisi. Aku, yang boleh kau sebut sebagai Dosen puisi, belum pernah membuat puisi sehebat itu dan sebagus itu.

Aku menyukai beberapa dari puisinya. Aku mengedit dan mengetiknya dengan mesin tik yang nantinya akan kukirimkan kepada redaktur koran lokal di kota. Aku optimis karena tema puisinya adalah tema-tema sosial, walau terkadang aku juga menemukan puisi-puisi bernadakan cinta.

Salah satu puisi yang kusuka adalah puisinya yang berjudul Oase di Tengah Kota. Entah ijin sastrawan mana yang telah merasuk ke dalam tubuhnya, sehingga ia bisa menulis puisi sehebat itu. Yang aku tahu juga bahwa dirinya juga tak tamat Kuliah. Puisi ini ditulisnya ketika ia pergi ke kota. Kala itu ia mampir di sebuah warung, dan ketika ia hendak memesan makanan ternyata si penjual hanya memberikan piring saja, sedangkan dirinya harus mengambil nasi sendiri. Sepuasnya!

Puisi lainnya adalah potret kata-kata mengenai kemiskinan, para gelandangan, anak-anak yang seharusnya sekolah tetapi mengemis di jalanan, dan masih puluhan tema sosial lainnya.

Dan sebuah puisi berjudul Setangkai Mawar Layu yang kuselipkan di Telingamu adalah sebuah puisi cinta yang muram. Ia sering menyebutkan nama Muslikah di beberapa puisi cintanya. Entah siapa perempuan yang namanya selalu disebutkan di puisi-puisi cintanya.

***

Semenjak ibunya meninggal, lelaki puisi itu semakin jarang datang ke rumah. Ia juga jarang membuat puisi lagi. Terakhir kalinya aku bertemu dengannya ketika aku ikut nyatus¹di rumahnya. Kulihat raut mukanya yang berat oleh kesedihan.

Dan siang itu, seorang pegawai pos datang ke sekolahan memberikan sebuah wesel kepadaku. Wesel tersebut bertuliskan nama Lelaki Puisi itu. Terang saja, sepulang dari mengajar, aku langsung bergegas ke rumah Lelaki Puisi. Di sana aku sama sekali tak menjumpai dirinya. Entah kemana dirinya pergi.

Tetangganya mengatakan kepadaku bahwa dirinya sekarang bekerja menjadi buruh tani. Aku terperanjat mendengarnya. Ternyata lelaki itu sekarang mau bekerja. Dan aku menyusuri petak-petak tanah mencarinya. Orang-orang di sawah terkejut melihat diriku turun ke sawah.

“Siang Pak Dosen!” sapa sebagian mereka.

Kulihat Lelaki Puisi tengah nyangkul di sawah. Aku panggil dirinya. Kukatakan bahwa beberapa puisinya di muat oleh koran lokal di kota. Dan dirinya mendapatkan honor yang lumayan. Dia diam untuk beberapa sesaat, sebelum memutuskan untuk berhenti menulis puisi dan bekerja.

Pak Dosen, jual saja puisiku ke koran. Uangnya bisa untuk biaya anak-anak yang nggak punya biaya untuk kuliah.”

Aku melangkah pulang dengan perasaan haru dan heran!

Iklan

Aksi

Information

2 responses

18 07 2007
Kang Tutur

“Pak Dosen, jual saja puisiku ke koran. Uangnya bisa untuk biaya anak-anak yang nggak punya biaya untuk kuliah.”

—–Semangat baget ya?

18 07 2007
Beasiswa Wirausaha « STIETN [Ajang Kreatifitas Civitas Akademika]

[…] dari keterpurukan, ketidak berdayaan dan kemisikinan dengan memberikan peluang beasiswa kepada anak-anak bangsa yang ingin dan mau kuliah mengantarku pagi ini untuk berkeliling BOTD (blog of the day) di […]

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s




%d blogger menyukai ini: